Rabu, 13 Agustus 2008

Sebuah kisah dibalik Pilkada

"Kamu kemana aja?"

Aku hanya menjawabnya dengan tersenyum. Aku bingung harus menjawab apa. Bingung tutupi keegoan diri.

"Teu boga duit ey, ongkos naek."

Tak sepenuhnya bohong, namun tak jujur. Memang aku tak punya uang dan ongkos naik, tapi bisa saja andai diri ini mau sedikit berusaha dan berkorban. Berusaha meminta uang pada orang tua atau berkorban pergi pagi bersama salah satu orangtuaku. Tapi... enggan ku lakukan semua itu. Saat itu aku hanya ingin miliki diriku sendiri. Utuh. Tak ada yang bisa membujukku datang rapat ini dan itu, survey ini dan itu. Kali ini aku benar-benar penat. Penat biarkan diriku jadi milik umum. Salahkah jika ku butuh waktu sedikit saja tuk miliki diriku sendiri. Miliki pikirku sendiri. Miliki jiwa dan ragaku sendiri. Ah, betapa egoisnya diriku ini.

"Ah, maneh! Ngarang pisan."

Sesal juga diriku ceritakan semua padanya. Tentang kejadian yang membuatku muak. Sebulan yang lalu kakekku meninggal dunia. Saat itu, ibuku sedang menemani istri sang walikota ke suatu acara di Jambi sana. Ya, pulang langsung tak sesuai jadwal, sewaktu itu kakekku masih koma, belum meninggal. Karena itulah, kematian kakekku ini bisa diketahui oleh walikota kotaku tinggal.

Semalam sebelum penguburan, ada kabar berhembus. Pak walikota akan berkunjung ke rumahku. Ini membuat sedikit kehebohan di rumahku. Apa pasal? Pilkada sebentar lagi. Beberapa bibiku adalah kader dari partai 16. Partai yang akan bertarung dengan partai 33 yang mengusung sang walikota kembali. Beberapa stiker partai 16 terpangpang di jendela rumahku. Dengan kepolosan tersendiri dipasang oleh adik-adik sepupuku. Menjaga kenetralan, ibuku dibantu ayahku berusaha membersihkan stiker-stiker tersebut. Di beri pandangan tak sedap oleh adik sepupuku yang merasa kerja kerasnya akan dipangkas. Usaha kedua orangtuaku sia-sia. Selain banyak hal lain yang harus dilakukan juga karena lem yang menempel terlalu kuat. Logikanya sih githu. Sudahlah.

Di belakang, hal ini jadi perbincangan yang cukup dahsyat.

"Tenang aja, nanti seluruh kader yang tinggal di daerah situ pada suruh dateng semua."

Hello!! Haruskah hal ini jadi hal sehebat ini??? Siapa sih sebenernya orang-orang sekitar aku. Aku sungguh tak lagi kenali mereka. Letih yang menjambangi tumbuh bertambah puluhan kali lipat.

Pada akhirnya memang hanya wakil dari sekda yang datang. Aku tak bisa bayangkan perang macam apa yang akan terjadi bila pak walikota itu benar-benar datang. Kukira semua telah berakhir. Nyatanya... sore hari sesudah penguburan... datang serobongan ibu-ibu... kau tau siapa? Ternyata istri sang walikota datang. Sepulangnya sang istri, salah satu bibiku bilang,

"Teh, tadi aya sms ti pak ketua dprd kota. Maaf nggak bisa ke sini,"

Ketua dprd kota berasal dari partai 16. Entah lewat jalur mana bibiku itu mengenalnya.

Sekali lagi...

Hello!! Haruskah hal ini jadi hal sehebat ini??? Siapa sih sebenernya orang-orang sekitar aku. Aku sungguh tak lagi kenali mereka. Letih yang menjambangi lagi-lago tumbuh bertambah puluhan kali lipat.

MUAK!!! Aku sungguh muak dengan semua ini. MUAK!!! Hello guys! Perang belum dimulai. Mengapa kalian sudah mulai menabuh genderang perangnya?

Tidak ada komentar: