Senin, 06 April 2009

Puisi untuk Kehidupan

Ku buku lembar hati yang terdalam
Ku lihat apa yang ada di dalamnya
Harap itu belum berkurang barang setitik
Harapku akan sebuah kehidupan bersahaja namun adil dan sejahtera
Harapku akan sebuah kehidupan yang aman dan damai tanpa ada pertengkaran
Harapku akan sebuah kehidupan berbangsa yang lebih baik
Harapku akan berdirinya sebuah ideologi bernama Islam yang melindungi seluruh sisi kehidupan
Harapku untuk sebuah nilai kebenaran yang kokoh lagi pasti

Rabu, 25 Maret 2009

Kata-kata yang telah lama mengendap di komputer

Kebenaran adalah sebuah variabel fungsi kuadrat. Nilainya bisa berganti-ganti tergantung prinsip yang kita gunakan. Namun, ada dua pilihan pasti. Sebuah fakta atau seribu kebohongan.
Hidup adalah memilih. Ketika kau sudah memilih untuk hidup, kau harus memilih untuk hidupmu. Lalu kau harus bertanggung jawab atas segala pilihan yang tlah kau ambil dalam hidupmu.

Apapun yang tlah terjadi dalam hidupmu. Bersyukurlah menjadi dirimu dengan usahamu sendiri. Jangan pernah membenciNya, yang tlah tentukan jalan hidupmu. Suatu hari kau akan tau maksudNya perlakukan semua ini padaMu.

Yang terpenting dalam sejarah bukanlah apa yang terjadi dan siapa pelakunya,, data bisa berganti setiap ganti pemerintah,, mengapa peristiwa itu terjadi dan bagaimana cara berpikir pelakunya,, kupikir ini lebih bermanfaat untuk dipelajari. Agar kita mengerti kebudayaan. Jadilah ini model utama kita untuk mencipta kebudayaan baru, bukan mengubah budaya.
Tidak akan ada orang yang khan merasa salah. Walau dia sudah mengaku salah sekalipun.

Hidup ini bagai sebuah bangunan. Yang setiap bagiannya adalah penting. Semua berbalik pada kita apakah kita dapat menyadari kepentingan dari bagian itu atau tidak.

Selalu ingat kalau kita adalah satu tubuh. Janganlah saling menyakiti. Hanya orang tak waras yang mampu menyakiti tubuhnya sendiri. Dan aku yakin kalian masihlah orang-orang yang waras. Apapun keputusan yang tlah diambil teman kita. Jangan pernah menyalahkannya. Percayalah padanya, dia sudah pertimbangkan apapun resiko yang akan dia hadapi dengan pilihannya.

Hidup adalah untuk mensyukurinya dengan terus berusaha agar diri ini berikan yang terbaik untukNya. Bukan untuk siapa-siapa. Pada akhirnya itu akan berbalik untuk diri kita sendiri. Entah di dunia, entah di akhirat.

Selasa, 23 Desember 2008

Namaku Keisya.
Ananti Keisya Fardani yang biasa di panggil Key. Mahasiswa tingkat dua Faculty of Public Health sebuah universitas -yang katanya- terbaik di seluruh Sabang sampai Merauke. Selama ini ku biarkan banyak orang berkisah tentangku. Kini izinkan aku yang berkisah. Tentang keluarga seorang karibku saat ini. Nila.
Mengapa sosoknya begitu menarik bagiku. Karena melihatnya seperti berkaca pada diriku sendiri. Tak cantik namun menarik. Kadang bicaranya tak kami mengerti, seringkali alur pikirnya buat kami kerutkan kening. Hal ini membuat seorang Reza berpikir berulang kali. Bertanya pada diriku, apa yang sebenarnya menarik darinya sehingga dia –Reza- tak bisa layarkan perahunya ke pulau kapuk semalam suntuk. Ya, dia hampir tergila-gila pada sobatku ini.
Reza. Dia ketua angkatanku. Kini jadi calon kuat ketua BEM. Aku sendiri adalah bendahara. Tak aneh bukan, bila kami punya hubungan cukup dekat. Nila sendiri adalah ketua divisi keakademikan perangkat angkatan kami. Diantara semua ketua divisi, hanya di depan Nila lah dia tak bergeming. Jadilah kabar ini diketahui seluruh angkatan kami.
Nila, lagi-lagi tak bergeming dengan kabar ini. Buatnya semua ini tak penting. Baginya hanya dirinya yang penting, dirinya yang hebat. Tak hanya itu namun juga hanya dirinya yang salah, dirinya yang bodoh. Korelis-Melankolis. Sisi melakolisnya lah yang –tentu saja hanya menurut feeling liarku- membuat ketua angkatan kami itu tergila-gila.
Reza, adalah sosok menyenangkan, populer namun tegas dan berwibawa. Seperti kebanyakan pemimpin dunia. Dia tetap punya sisi lemah. Seperti semua lelaki di jagat raya ini, titik terlemahnya adalah wanita, karibku itu.
Fadnila Farida, anak pertama dari 4 bersaudara. Cukup sudah aku ceritakan wataknya seperti diatas. Hal lain yang menarik darinya adalah keluarganya.
Ayahnya, Hariyanto Abdilla. Beliau adalah dosen fakultas teknik di universitasku. Baru saja dipilih oleh BEM Fakultas Teknik sebagai dosen terfavorite. Apa pasal? Menurut anak-anak teknik, dosen Kalkulus yang satu ini tak hanya mengajar mata kuliah tapi juga mengajarkan tentang hidup. Mirip-mirip dosen filsafat. Namun, caranya tak membosankan. Dengan ayah macam itu, pantas saja pribadi Nila jadi sebegitu puitis, romantis dan melankolis.
Ibunya, Rossa Ardiana Rossandini. Nama yang sunda sekali. Beliau dalah salah satu kepala staff di Departemen Kesehatan. PNS papan atas. Tentu saja seorang dokter. Sangat menyenangkan serta humoris. Tak jarang beliau jadi pengisi acara yang kami buat. Tentu saja gratis. Hehehe.
Adik pertamanya, Hanina Asmarani.Biasa kami panggil Nina. Hanya pendapat orang luar. Dia sangat mirip dengan ibunya. Dari wajah, sampai perilaku. Bila ada kata-kata, like mother like daughter, ini sangat cocok untuk poasangan ibu-anak ini.Kini dia kelas 2 SMA. Masa lagi nakal-nakal. Tak jarang aku dengarkan keluhan Nila tentang adiknya ini.Sering pergi pagi buta dan pulang larut malam. Aku hanya berani berpendapat,
“Namanya juga anak SMA, kelas 2 lagi. Bukannya itulah masa paling indah ya Nil?”
Adik ke duanya, Ranisya Kania. Kami memanggilnya Nisa. Baru kelas 5 SD. Cenderung mendominasi. Namun, begitu lembut dan rapuh. Tempramen luar biasa. Pemikir. Hanya ingin melakukan hal-hal yang realistis dan masuk akal. Cenderung pesimis dan terobsesi dengan pikirannya sendiri. Sedikit banyak sama dengan Nila.
Adik ke tiganya, Fenida Aryadewi. Dipanggil Nida. Kelas 2 SD. Cenderung beda sendiri dari kakak-kakaknya. Berparas sangat cantik dibanding kakak-kakaknya. Anaknya ramah, super lembut, santun serta menyenangkan. Sangat suka melukis, berkebalikan dengan Nila yang sangat benci menggambar.
Sebuah keluarga yang cukup unik. Tak beda dengan keluargaku. Beginilah aku yang sekarang, sedikit narsis.
Bagaimana dengan keluargaku sendiri?
Setahun yang lalu aku ikut SPMB. Pilihan 1 : STEI ITB, Pilihan 2 : FKM UI, Pilihan 3 : Antropologi Sosial UnPad. Mimpiku sejak SMP memang masuk ke Teknik Informatika ITB. Tapi apa mau di kata, kenyataannya aku harus hijrah ke Depok karena nilaiku hanya mampu mengantarku ke pilihanku yang kedua. Aku pun tinggal bersama abang tertuaku, Bang Radit. Hanya saja pertengahan tahun ini dia pindah kantor sehingga harus pula pindah rumah ke daerah Jakarta Pusat. Sebuah kebetulan, abangku yang kedua, Bang Dimas yang tadinya nun jauh di Kalimantan sana, mendapat beasiswa di kampus yang sama denganku. Jurusan Manajemen. Sedangkan istrinya,Teh Reni, dapat beasiswa di fakultas yang sama denganku. Jadilah kini aku tinggal bersama mereka dan 2 putra-putri mereka Sheira dan Erief.
Sheira. Baru 3 tahun. Sedang lucu-lucunya. Mengoceh apapun yang bisa diocehkannya. Super duper cerewet. Sampai pusing bukan buatan aku dibuatnya.
Erief. Terpaut 20 bulan dengan Sheira. Sedang belajar melangkah dan aku banyak belajar darinya. Tentu saja perhatian Teh Reni lebih banyak tertuju padanya. Dan ini membuat Sheira cemburu. Jadilah Sheira lebih dekat denganku. Karena akulah yang bertugas menghibur Sheira ketika ia menangis.
***
Hari ini adalah hari yang indah.
Sheira dan Erief berada dimasa-masa akur mereka. Seperti kehidupan kakak-adik pada umumnya. Ada masa bertengkar, ada masa akur. Masa-masa yang tak pernah aku alami karena umurku yang terpaut begitu jauh dengan 2 kakak lelakiku.
“Apa kesibukan kamu selama ini, Key?”
“Ya... palingan juga di BEM Fakultas.”
“Masih inget sama Fajar?”
“Fajar mana?”
Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba saja Teh Reni bertanya seperti itu. Aku memang punya setidaknya 10 orang teman bernama Fajar. 5 orang sewaktu SD, 3 orang sewaktu SMP, dan 2 SMA.
“Fajar yang paling berkesan buat kamu yang mana?”
Sejujurnya salah satu Fajar waktu SMAlah yang paling berkesan buatku. Terlalu banyak kasus masa SMAku yang sehubung dengannya. Tentu bukan hal yang mudah jika mau melupakannya. Namun, bukan aku jika tak menjawabnya dengan diplomatis.
“Semua Fajar meninggalkan kesan yang berbeda-beda.”
“Begitu juga dengan Fajar, yang membuatmu sampai menelpon abangmu?”
Ya, memang Fajar itu yang paling berkesan buatku.
“Emang Bang Dimas cerita-cerita ke Teh Reni ya?” tanyaku, coba alihkan fokus.
Teh Reni hanya tersenyum. Seakan mengerti maksudku uraikan fokus pembicaraan.
“Key, teteh minta tolong. Kamu ajak Sheira mandi jug.” katanya pada akhirnya.
***
SMA memang cerita yang lucu.
Masa terindah, masa ternakal, masa terpenuh mimpi, masa tertakrealistis, ..., kelihatannya terlalu banyak ter lain yang tak bisa aku ungkap saat ini.
Lucu?
Tentu saja aku bisa tertawa terbahak-bahak bila Bang Dimas kembali mengurai cerita Rena dan Lani yang sempat tergila-gila padanya.
Indah?
Tak sebanding hukuman-hukuman yang kami dapat saat kabur dari pelajaran PPKn dengan keasyikan bersembunyi saat itu.
Nakal?
Merasa kabur itu indah dan asyik tentunya karena jiwa kenakalan sedang ada pada titik tertinggi. Sering pulang malam dan pergi pagi buta. Ya, itulah masa SMA.
Penuh mimpi dan tak realistis?
Oh, tentu. Karena kami sedang ada pada jiwa muda tertinggi. Maka muncullah mimpi-mimpi yang tak realistis.
Itulah SMA, itulah masa muda.
***
Ngomong-ngomong soal Fajar, aku tiba-tiba saja teringat soal Rama.
Bisa jadi dia adalah cinta pertamaku. Tak tampan, hanya hitam manis serta jenius luar biasa. Sayangnya kami terpisah saat SMA dan tak tau lagi bagaimana kabarnya sampai saat ini.
Aku cerita pada Bang Dimas soal ini, mulai saat itulah Bang Dimas banyak berbicara padaku soal jilbab serta pacaran yang diperbolehkan agama. Maka dari itu, ketika Rama ‘nembak’ –ya... begitulah bahasa anak mudanya- aku, aku sudah siap dengan perisai yang tlah lama dipersiapkan Bang Dimas.
“Teu, nyalain tipi donk.” Sahut Sheira dengan lucunya.
Teuteu. Begitulah 3 keponakanku Sheira, Nadia dan Erief memanggilku.
Aku pun menuruti katanya. Kali ini rumah sepi. Bang Dimas dan Teh Reni sedang pergi ke dokter mengantar Erief yang badannya panas sejak 3 hari yang lalu. Tadi pagi Teh Reni menelpon ibuku, mertuanya. Begini kata ibuku,
“Biasa Ren, Begitulah anak kecil. Pabila akan bisa sesuatu pasti sakit terlebih dahulu. Jadi, kau jangan terlalu cemas, tapi jangan pula terlalu menganggap remeh. Boleh ibu bicara dengan Keisya?”
Dan bicaralah ibuku pada diriku,
“Baik-baik kau bersama abangmu di sana. Jangan membuat kepala kakak-kakakmu bertambah pusing. Kalau ada apa-apa cerita pada ibu.”
“Iya, Bu.”
Hanya itu jawabku.
“Ya sudah. Ibu mau bicara dengan kakak iparmu lagi.”
Sepertinya ibuku tau. Aku tak akan menjalankan pesannya itu. Dia hanya pasrah.
Ups! Aku sampai lupa.
Kunyalakan langsung tv, sebagaimana keinginan Sheira, keponakan kesayanganku.
Apa?
Guys.... ada yang tau apa yang kulihat?
Sebuah berita, tentang unjuk rasa sebuah universitas kota kelahiranku. Yang akan menaikan biaya kuliahnya 50%. Apa-apaan ini? Semakin komersial saja dunia pendidikan kita? Tak adakah fakta sebuah buku best seller yang mengangkat cerita itu memanggil para pemimpin negeri ini? Sepertinya hanya sekelewat saja Laskar Pelangi dibaca, tanpa diresapi isinya secara benar oleh presiden kita itu. Hanya pendapat pikiran liarku. Sebenarnya aku tak tau apa-apa.
Bukan itu yang sebenarnya aku ingin ungkap disini. Tau siapa yang kulihat?
Tampak 2 sosok yang tampaknya ku kenal. Yang satu teman SMPku satunya lagi teman SMAku, Rama dan Fajar. Mereka berdua memimpin aksi itu, memegang pengeras suara, memimpin aksi yang cukup besar itu.
“Teuteu pindahin kaltun Teu, kaltun” Sheira memelas.
Aku pun tak ingin lama-lama melihat ini. Aku takut, hal yang menggerogoti imanku 3 dan 6 tahun lalu kembali gerogoti imanku lagi kali ini.
***
Benar saja.
Benteng yang telah kubangun dua tahun belakangan ini rubuh begitu saja. Aku sangat penasaran dengan kabar 2 temanku ini.
Mereka hanya temanku. Wajar bukan, jika aku ingin tau kabar keduanya. Aku melempar telepon genggam yang sedari tadi ku tatap. Hendak menelpon Rena yang juga masuk jurusan yang sama dengan 2 orang yang tadi memimpin aksi yang lumayan besar itu.
“Mo nelpon siapa sih? Kok kamu bimbang githu.” Ini Abangku.
“Tadi sore... Key ngeliat Rama dan Fajar di tv mimpin aksi.”
“Oh, mereka satu universitas ya? Dimana?”
“Satu jurusan malah. Kedokteran.” jawabku singkat.
“Teh Reni punya nomornya Teh Lili tuh.”
Teh Lili adalah kakak dari Fajar. Ide ini begitu bodohnya. Seperti menertawakanku. Tak kuhiraukan.
Telpon Rena, tanya kabarnya, dan tanyakan soal aksi itu. Kalau kau tak dapat kabar apa-apa tentang mereka berdua. Hal itu memang belum rejekimu.
“Ren, apa kabar?”
“Baik. Benarkah ini kau Key?”
“Serius Key? Apa kabar juga?”
Kami pun bercerita tentang diri kami masing-masing. Sampailah saatnya,
“Tadi kalian aksi ya. Aku nontonloh di tv.” kataku.
“Pasti kau ingin tau soal 2 pria yang tadi mimpin aksi khan?”
Kalau Rena tau soal Fajar, itu wajar. Soal Rama bagaimana dia tau?
“Maksudnya?”
“Mereka berdua tuh sering banget ngebicarain kamu tau.”
“Terus?”
“Ya, paling yang ngerti anak SMA kita yang tau kalian aja. Dan itu nggak banyak khan. Pokoknya mereka berdua tuh sering bawa-bawa kamu deh kalau lagi diskusi n debat. Yang paling ngerti paling aku doank.”
Aku tersentak. Dalam. Kedua muncul bersamaan. Sejujurnya bentengku akan Rama tak rubuh begitu banyak. Karena pondasinya telah mengakar kuat. Ya, Fajar lah yang membuat hatiku ini gundah.
Ku telpon ibuku, menangis sekeinginku.
“Bu, maafin Key selama ini ya.”
“Kenapa sih Key? Kok tiba-tiba nangis ke ibu begini.”
“Maafin Key, karena selama ini Key kurang suka cerita sama ibu. Key lebih suka cerita ama Bang Dimas. Maafin Key ya bu.”
Ibuku menghela nafas. Lalu berkata,
“Sebenernya... kamu cerita sama ibu atau sama abangmu itu sama saja Key. Yang penting kau ceritakan masalahmu pada orang lain. Jangan kau pendam sendiri. Ibu ini sudah jadi bundamu 19 tahun lamanya. Ibu mengenalmu dengan sangat. Satu yang ibu ingin kau tau, kami selalu ada di sampingmu, menemani apapun masalah yang kau hadapi.”
Ibu. Sesosok yang telah kulupa 6 tahun ini. Aku lebih banyak cerita dengan abangku, Dimas. Entah mengapa nasihatnya yang ini, buat aku terasa sangat dekat dengannya. Dan tiba-tiba saja, kata-kata ini terucap dari bibirku.
“Ibu, Key sayang ibu.”
“Ibu juga.”
Rasa rindu pada ibuku saat itu menjadi berkali-kali lipat rasanya.
***
Story-Guide :
Barulah untuk pertama kalinya. Keisya jujur pada perasaannya sendiri. Tentang ibunya dan tentang Fajar tentu saja.

Kamis, 18 Desember 2008

Hari ini
***
Hari ini aku ingin berkisah. Tentang seorang anak yang biasa kupanggil Neng.
“Bade lungsur dimana Neng?”
Gadis yang kini ada dihadapku. Termenung sendiri dipojokkan hadapku. Dia tak pernah sadar kalau aku selalu perhatikannya.
Sudah 4 tahun ini aku tak melihatnya. Dari cakapnya, aku tahu 4 tahun ini dia menimba ilmu di Fakultas Kesehatan Masyarakat universitas yang letaknya di Depok sana. Kudengar dia lulus cum laude. Sungguh hebatnya gadis ini.
***
16 tahun yang lalu...
***
Dengan seragam merah putihnya seorang gadis cilik menaiki angkot. Sepertinya ini adalah hari pertamanya masuk sekolah. Entah ada apa dalam dirinya sehingga aku begitu tertarik akan sosoknya. Jiwa keingintahuanku membuncah, ingin berkenalan dengannya. Kebetulan dia mengambil tempat duduk tepat di belakangku.
“Neng, sekolah dimana?”
Dia hanya diam. Aku mengerti ketakutan yang dirasanya. Biasa, nasihat dari orang tua pada anak mungilnya.
“Kalo ada orang nggak dikenal yang ngajak ngomong kamu. Kamu cuekin aja.”
Mengapa aku tahu? Karena begitulah nasihat ibuku 13 tahun yang lalu. Ketika aku masih kelas 1 SD.
Aku tak ingin membuatnya tak nyaman maka kuredam rasa ingin tahuku. Aku kembali konsentrasi pada urusanku.
***
Hari ini gadis itu pulang dari sekolahnya bersama temannya. Dari percakapan mereka, aku dapat beberapa data tentang gadis itu. Panggilannya Key. Temannya adalah Liyah. Mereka hendak belajar bersama dengan Key. Karena di rumah Liyah, hari ini tak ada siapa-siapa maka Keisya mengajak Liyah bermain di rumahnya saja. Begini percakapan 2 gadis cilik itu.
“Emang ibu-bapak kamu kemana?” sahut Key memulai percakapan.
“Dua-duanya kerja. Kebetulan dua-dua sekarang nggak ada di rumah. Adikku yang paling kecil khan belum sekolah jadi di titipin ke uaku di kabupaten. Karena aku, Mas Andri dan Mbak Mirna sekolah jadi kami ditinggalin di rumah sama pembantu. Daripada aku main sama pembantu. Mending aku main ama kamu. ”
“Tapi kamu udah bilang ke rumah kamu belum?”
“Nanti aja di rumah kamu. Aku pinjem telepon kamu buat ngasih tau ama Mas Andri.”
“Emang kakak kamu sekolah dimana?”
“Mas Andri kelas 2 SMA di SMA Nusantara. Kalo Mbak Mirna kelas 2 di SMP Nusantara.”
“Wah kalo begitu, Mas Andri mu kenal sama Abangku Dimas donk ya. Dia juga kelas 2 di SMA Nusantara lho. Kalo Abangku yang paling tua udah kuliah tingkat 1 di Manajemen, namanya Bang Radit.”
“Oh, kakak kamu udah ada yang kuliah ya.”
Akulah saksi awal dari persahabatan 2 anak manusia. Key dan Liyah.
***
12 tahun yang lalu...
***
Tak menyangka. Gadisku ternyata sudah besar. Dari cakapnya kini aku tahu kini dia sedang marahan dengan sobat karibnya sejak 4 tahun yang lalu, Liyah. Dan kini dia ditemani temannya yang lain. Namanya Nida.
“Aku bener-bener nggak nyangka Liyah bisa setega itu ma aku. Gambar aku emang jelek, tapi nggak udah dipamerin githu deh. Padahal ya Nid, dia tuh tau banget dari kelas 1 SD, aku paling nggak benci ama yang namanya menggambar.”
Gadisku yang selama ini lebih banyak mendengar. Kini berbicara dengan lancar dan begitu emosional. Hal itu pasti sangat berat buatnya.
“Nida boleh ngasih masukkan nggak?”
“Tentang?”
“Ehm... mungkin gini Key, Liyah itu cuman mau nunjukin ma kamu kalau gambar kamu itu nggak separah yang kamu bayangkan. Buktinya masih layak dipajang di mading.”
“Tetap aja. Aku nggak bisa terima semua ini. Dia minta maaf seperti apapun.”
“Jangan githu donk. Persahabatan kita khan udah segini lama. Masa cuman bubar gara-gara masalah ginian doank?”
“Ehm... yang jelas hari ini aku nggak mau ketemu dia dulu deh.”
***
10 tahun yang lalu...
***
Gadisku kini berseragam putih-biru. Tak terasa. Garis-garis kecantikan mulai tertoreh di wajahnya. Gadisku sudah beranjak dewasa. Bersama karib barunya bernama Laras. Dia mulai berbicara tentang cinta. Sudah mulai tahu makhluk bernama cowok. Obrolannya kini berubah.
“Eh, si Rama katanya kemaren nembak kamu ya?” tanya Laras.
“Nggak kok. Buktinya sekarang aku masih sehat buger dihadapmu.”
Begitulah gadisku. Polos.
“Gubrak! Bukan begitu maksudnya. He ask you to be his girlfriend.”
“Emang aku ama dia dari dulu udah berteman khan?”
“Maksudnya pacaran Key! Payoye!”
“Ehm... Baru 2 hari yang lalu Bang Dimas cerita ama aku. Jangankan pacaran, ngomong berduaan ama laki-laki yang bukan muhrimnya aja dosa. Yang ketiganya setan. Padahal aku khan paling takut ama setan. Jadi... mendingan aku nggak usah punya urusan yang begituan lah.”
Bukan sekali ini aku mendengarnya menyebut kata-kata seperti...
“Bang Dimas bilang...” atau “Bang Dimas pernah cerita...” atau “Kata Bang Dimas...”
Ah, beruntungnya lelaki bernama Dimas itu. Mempunyai adik sesempurna gadisku.
“Tapi... kamu juga suka ma Rama khan?”
“ENGGAK!” jawabnya singkat tanpa bisa tutupi kesalahtingkahannya.
Ternyata gadisku sudah beger. Mulai merasa cinta. Walau tetap polos luar biasa.
***
Hari ini aku luar biasa syok. Kemana rambut panjang tergeray gadisku? Kemana lekuk tubuh indah gadisku? Tak ada lagi. Kini terbalut rapih. Gadisku kini berjilbab.
Hari ini dia kembali pulang bersama Laras.
“Kok tiba-tiba Key? Nggakn sayang apa? Rambut lo khan bagus, badan lo apa lagi.”
Dengan tegas gadisku menjawab...
“Kata Bang Dimas...”
Kata pamungkasnya...
“Karena kita harus sayang sama tubuh indah kita. Karena itulah kita harus memilih dengan selektif orang-orang yang bisa melihat perhiasan teragung kita.”
“Ya... aku sih cuma bisa ngedukung kamu aja.” kata Laras.
***
6,5 tahun yang lalu...
***
Gadisku sudah dewasa. Setengah jalan sudah dia di bangku SMA. Aku pun sudah tak muda lagi. Kini aku semakin jarang melihatnya. Namun, sekalinya dia ada di hadapku. Dia menangis di depan sobat SDnya LIyah. Ada apa gerangan? Biar kuceritakan sedai awal.
***
“Aku denger-denger dari temen-temenku yang di SMA Nusantara, Fajar, ketua OSISku dulu sekarang jadi calon kuat ketua Ikatan Remaja Mesjid SMA Nusantara ya? Kok bisa?”
“Bukan calon lagi Yah, udah kepilih tau!” kata Key.
“Seriusan kalian milih dia. Dia kan otoriter minta ampun. “
“Kamu jangan tanya sama aku dong Yah. Aku kan termasuk salah satu yang paling keras menentang dia. Tapi... apa mau dikata. Yang lain nggak mikir sama kayak aku.”
Di sinilah tiba-tiba gadisku menangis tersedu.
Ditanya ada apa oleh Liyah, Dia menjawab,
“Hatiku udah tidak lagi ada di tanganku. Tlah tercuri oleh orang otoriter itu.”
“Sabar ya Key.” hanya itu kata yang terucap di bibir Liyah.
***
Kembali pada hari ini...
***
Baru saja seseorang masuk. Liyah. Sobat lama Key.
“Liyah khan?”
“Ya Allah, kau kah itu Key?”
A... terjadilah reuni 2 sahabat yang tlah terpisah tahunan.
“Key, sebenarnya kamu itu anggap aku apa sih? Kok aku tau kabar kamu ama Fajar dari orang lain. Nggak ngajak-ngajak aku lagi. Gini-gini aku masih ada hubungannya ma kesehatan tau.Teknik Lingkungan khan dulu namanya Teknik Penyehatan. Trus, udah sampe mana?”
“Proposalnya udah masuk lah pokoknya.”
“Terus jadinya kapan?”
“Liat aja nanti.”
Aku benar-benar tak mengerti pernyataan gadis-gadis fresh graduate ini. Tapi beberapa hari yang lalu aku juga mendengar percakapan gadisku dengan seseorang bernama Lili bahwa gadisku dan Lili ini akan membangun sebuah rumah sakit. Apa ini yang mereka bicarakan? Aku pun tak begitu mengerti.

Minggu, 30 November 2008

Selamat Tinggal TL ITB,,,

Semakin hari aku semakin muak saja dengan gedung yang berada bersama Teknik Planologi, Arsitektur serta Geodesi ini. Sudah pernah kuceritakan bahwa feelingku agak jelek beberapa hari menjelang pengumuman SPMB tentang kampus depan masjid Salman itu. Dan ternyata feelingku semasa dulu itu mungkin tak terlalu berlebihan.

Kesalahanku memang dulu tidak benar-benar mengorek dunia TL yang sebenarnya. Di luar keinginanku mengabdi untuk membetulkan lingkungan hidup. Mengabdi di daerah. Kesalahanku memang dulu terlalu mengagungkan keinginanku untuk buktikan, aku rangking 44 dari 49 anak di SMAN 3 Bandung, juga bisa masuk PTN terbaik negeri ini. Nafsuku untuk buktikan pada keluarga ayahku bahwa aku bisa seperti mereka semua. Masuk ITB. Sebuah keegoisan yang baru aku sadari akhir-akhir ini. Dan aku lupa, kalau aku punya kekurangan. Sebuah cacat yang tak bisa kutolak yang ternyata menghambatku sampai pada titik puncak.

Setiap tubuh manusia pasti punya kekurangan. Ada kekurangan yang bisa diabaikan, ada kekurangan yang tidak bisa diabaikan, ada kekurangan yang bisa di deteksi, ada kekurangan yang tidak bisa di deteksi.

Sepintas memang tidak ada bedanya aku dengan siapapun orang yang ada di sampingku. Aku terlihat normal dan tak ada masalah. Tapi aku tahu banyak pula yang berpikir kalau aku itu aneh. Tulisanku buruk, ngomong seringkali tak jelas, n kadang-kadang aku melakukan gerakan-gerakan reflek (namanya gerakan reflek, aku sendiri nggak nyadar dengan gerakanku itu) yang tidak biasa. Dan aku akui kalau aku itu aneh. Dan aku tau sebabnya.

Semuanya bermula ketika aku baru lahir. Bilirubinku mencapai titik tertiggi dari yang pernah ada yang diketahui, 29,6. Hiperbilirubin (kern icterick). Biasanya sudah tak tertolong lagi, kecuali darahku dibuang dan diganti dengan darah orang lain. Resikonya berat dan yang pasti aku harus menanggung semua penyakit yang dimiliki oleh sang pemilik darah. dari sana ibuku tau kalau bilirubin yang berlebihan itu dapat menumpuk di lemak, dan jaringan lemak terbanyak ada di jaringan syaraf dan otak. Yap, bagian-bagian tersebut terganggu perkembangannya. Dokter RSHS yang saat itu bisa melakukannya, (dan hanya satu-satunya di Bandung) baru saja melakukannya dan akhirnya sang bayi mengidap hepatitis C. Dia pun tak mau lagi melakukannya. Dan nasibku tinggal menunggu waktu, tidak ada harapan lagi. Kalau aku tidak ditolongNya tak mungkin aku bisa menceritakan semua ini pada kalian. Sebuah keajaiban, akhirnya aku selamat.

Beberapa bulan kemudian, ibuku yang saat itu masih coast dapat kuliah tamu dokter dari Jerman tentang kesehatan anak “DMO(Disfungsi Minimal Otak)” (ya... anak kedokteran lebih tau lah, yang bukan anak kedokteran tanya aja ma anak kedokteran,, hehe),,
Saat itu juga aku diperiksa oleh tim dokter yang terdiri 7 orang dokter spesialis yang berkaitan. Dan saat itu pula aku divonis 43 pasang saraf dan otot yang pertumbuhannya tidak simetris yang akan mengakibatkan cacat total pada gerak motorik baik halus maupun kasa disertai tuli dan bermata juling.

Ibu mana yang tak terpukul dengan keadaan anak perempuan sulungnya yang seperti itu. Dan aku sangat bersyukur menpunyai ibu macam itu. Mungkin tak sempurna, tapi memberiku arti hidup. Aku pun difisioterapi secara mandiri oleh ibuku juga ayahku. Dan jadilah aku yang secara mengejutkan bisa keluar dari ancaman tuli, cacat dan bermata juling,, hanya... memang aku tak bisa mengerjakan beberapa hal yang orang lain bisa kerjakan. Salah satunya adalah motorik halusku buruk. Aku baru bisa membuat lingkaran kelas 4 SD. Aku bisa mengancing baju kelas 2 SD. Aku baru bisa menalikan sepatu kelas 6 SD. Dan hal yang sekarang ini sangat mengganggu adalah AKU TIDAK MAMPU MENGGAMBAR HALUS. Sejungkirbalik apapun aku berlatih. Tidak dapat aku menuhi semua tuntutannya.

Ketidakmampuanku ini buat duniaku hancur dan langitku runtuh. Menghancurkan mimpi-mimpiku, karena aku tau itu sangatlah terpakai untuk kedepannya. Mengganggu konsentrasiku. Apalagi setelah tau ‘muka TL’ yang sebenernya. Semua seakan jatuh menghujam tubuhku apalagi 3 dari 3 gambarku dipajang di papan pengumuman. Nilai UTSku pada 3 mata kuliah adalah yang terendah. Benar-benar menghujam jantungku. Tepat. Haruskah aku terus membiarkan ‘pisau’ itu bersarang di jantungku dan pada akhirnya aku akan mati. Atau melakukan operasi pengangkatan pisau itu, walau tak pasti berhasil, namun, aku masih punya harapan untuk hidup.

Sudah kubilang, semua ini memang salahku menangkan nafsu. Niatku tak benar-benar lurus. Dan aku dapatkan balasannya secara telak, lunas. Seperti yang didapatkan Arai sewaktu dia memainkan ucapan amin di kampung belitung dan mendapatkan balasannya di daratan Eropa sana. Selama ini aku punya prinsip, “SEMUA YANG AKU MAU PASTI BISA AKU DAPATKAN. ASALKAN AKU MAU.”. Semua itu tidak benar seratus persen. Ada hal-hal di dunia ini yang tak bisa kamu dapatkan, sekeras apapun kemauanmu. Orang buta tidak akan pernah bisa melihat dengan mata, tapi dia bisa melihat dengan hati. Namun, mereka masih bisa bersyukur dengan telinga mereka yang sangat peka.

Meski sulit, aku akan berusaha menerima semua itu. Sejujurnya ini sama sekali tak masuk logikaku. Ini pula jadi pelajaranku. Aku si pengagung logika dan penggila analogi. Ini sama sekali tak masuk logikaku. Aku terhempas ke jurang yang paling dalam. Aku sempat tak terima semua ini. Sampai saat ini aku hanya bisa berusaha untuk lebih ikhlas. Ikhlas dengan segala hal yang akan timbul dari semua keputusan yang aku ambil kali ini.

Dan mulai hari ini aku harus berusaha mengucapkan kata-kata, “SELAMAT TINGGAL TL ITB. SELAMAT TINGGAL KESOMBONGANKU SELAMA INI.”Banyak yang bilang aku menyerah,, tapi... jika itulah jalan hidupku, apa mau dikata. Hidup tak semulus apa yang kita bayangkan. Aku tak tau bagaimana hidup yang seharusnya namun aku terus berusaha untuk tetap hidup.