Minggu, 15 Juni 2008

Villa-Torres

Sore ini iseng-iseng kunyalakan tv. Ku”papay” (ada yang bisa menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia?) satu per satu channel per channel, sampai kutemukan sebuah tayangan. Memang hanya tayangan ulang. Tayangan yang tahun lalu biasa menemaniku berlatih mengerjakan soal-soal SPMB. Rasanya sudah lama… sekali. Walau tak begitu mengerti apa yang disuguhkan, tetapi berteriak tanpa suara (kayak gimana pula caranya?) ketika bola melambung melampaui mistar gawang atau ketika bola berhasil dilesakan oleh pihak manapun mampu sedikit mereduksi penat menghadapi soal-soal yang ingin sekali tidak kukerjakan.

Bukan SPMBnya yang ingin ku bahas.

Spanyol versus Rusia. Ada sebuah adegan menarik. Seusai mencetak gol ketiganya, tau apa yang dilakukan David Villa? Dia berlari ke arah bangku cadangan, mencari Fernando Torres, dan memeluknya. Kenapa Torres? 2 gol sebelumnya memang dicetak dari kerja sama mereka berdua (kalo gol yang ke 2, A nggak merhatiin ketang,, hehe…). Bedanya kini Torres duduk di bangku cadangan. Sungguh menggelitik jiwa melankolisku. So sweet…! Entah mereka menamakannya apa, tapi ini yang kukira biasa kita sebut ukhuwah.

Anganku kembali melayang, melewati hari-hari laluku. Aku jadi teringat seorang sahabat. Tanpa mengecilkan posisi sahabat-sahabatku yang lain, tapi… dialah satu-satunya teman berbagiku, benar-benar berbagi, mulai hal-hal yang sifatnya jasadiyah (makan-minum) sampe hal-hal yang bersifat fikriyah (pandangan tentang hidup, dunia, islam, politik, ideologi, bahkan tentang bola n motogp sekalipun,, n sampai saat ini belum ada yang bisa menggantikannya untuk bagian ini, terutama untuk 2 hal terakhir,, nggak ngerti juga sih sebenernya,, asal komen doank,,). Perbedaan jalan dakwah yang kami ambil sama sekali tak jadi masalah berarti bagi kami. Karena kami tau perjalanan kami masing-masing mengambil keputusan ini.

Beberapa saat yang lalu dia bercerita padaku tentang bagaimana dia tidak dianggap di LDFnya, bagaimana dia dilihat berbeda. Hanya karena dia tidak liqo. Kalimat yang terakhir adalah kesimpulan pribadiku dari ceritanya yang sebelumnya. (biasalah… dia memang cerita kalo dia ditanya nama murabbi, n selanjutnya, selanjutnya).

Sejujurnya, sebagai sahabat, aku tak ingin identitasnya terkuak. Walau aku sadar, dengan jaringan yang ada, identitasnya pasti terkuak. Hal yang aku takutkan sejak awal benar-benar terjadi. Kronologinya persis yang dialami bibiku terjadi lagi. Aku hanya tersenyum getir dan berkata, “Sabar ya…”, tak berani lebih dari itu. Hatiku teriris, sakit rasanya, perih.

Terus?

Kembali ke Villa-Torres, kurenungi beberapa saat. Setau aku… mereka itu bermain di klub yang berbeda, di negara yang beda pula. Pastinya mereka jarang ketemu. Bahkan sekalinya bertemu mereka berada di pihak yang harus saling mengalahkan (emang Liverpool pernah ketemu Valencia di Liga Champions ya? nggak ngerti juga tuh,,). Tapi, lihatlah bagaimana “nasionalisme” bisa menyatukan mereka. Usai mencetak gol ketiganya, bukan mengambil bola, mengangkat tangan pada penonton, atau buka kaos yang dilakukan oleh Villa. Dia malah berlari mencari teman seperjuangannya sebelum digantikan Cesc Fabregas. Sebuah selebrasi yang jarang aku lihat (mungkin karena aku jarang nonton bola juga kali ya…).

Sebuah landasan nasionalisme saja bisa berbicara sejauh ini. Bagaimana mungkin nilai keimanan tak bisa menyatukan kita? Tak cukupkah nilai keimanan mendekatkan hati kita semua?

Aku sangat takut. Takut menyakiti saudaraku. Karena ketika saudara kita tersakiti, bukankah sepatutnya kita juga merasakan sakitnya? Dan hanya orang tak waras yang mampu menyakiti dirinya sendiri. Dan aku orang yang masih waras.

Menyeruaklah sebuah pertanyaan retoris yang tak akan pernah kudapat jawabnya (pertanyaan retoris memang tak butuh jawaban,, hehehe).

APAKAH UKHUWAH ITU HANYA MILIK PARA IKHWAH?