Sabtu, 26 Mei 2007

Sebuah Catatan Perjalanan

11 Mei 2007

10.00, Terminal bus LeuwiPanjang
Petualangan baru saja dimulai. Aku ingin petualangan sebelum pertempuran ini membawa banyak pelajaran bagiku. Aku hampir tak percaya, 4 TAHUN sudah aku meninggalkannya. Rindu sekali rasanya...

10.30, di Tol Cipularang
Tiba-tiba saja aku sadar, kalau yang kurindukan bukan pantai, tapi guru-guru juga teman-temanku yang entah bagaimana kabarnya. Aku jadi inget, waktu dulu khan jaman-jamannya ngisis binder. nama, ttl, bla-bla-bla-cuh, yang tak lupa kutulis adalah "Don't Forget me. I hate to be forgotten."
Hal yang paling kubenci memang dilupakan. Makanya aku sangat berusaha untuk tak melupakan siapapun yang pernah hadir dalam hidupku.

12.00, JAKARTA
Gedung bertingkat berdiri disana-sini dengan angkuhnya. Besok, 9 tahun sudah tragedi itu. Tragedi Trisakti.
Ketika itu aku masih kelas 3 SD. Walau tidak begitu kumengerti, karena semuanya nonton berita, aku pun jadi ikutan nonton. Apalagi waktu itu ayahku kerja di daerah Slipi. Uuu...
Pedih rasanya orang-orang dipukuli dan ditembaki. Mobil dan mal dibakar dan dijarah. ih! Gila deh! Semahal itukah harga sebuah perubahan???
Jadi teringat sebuah percakapan dengan seorang teman.
"Apa gunanya aksi? Cuman macetin jalan?"
Sejujurnya saat itu aku setuju. Bukan cuman bikin macet jalan, tapi juga manas-manasin+nyape-nyapein diri. Tapi, bukan aku kalau langsung setuju.
"Kalau nggak da aksi, Soeharto nggak turun. Kalo Soeharto nggak turun. Kita nggak akan bisa berpikir sebebas ini. Nggak khan bisa bebas pake kerudung, nggak khan bisa ngaji dengan bebas, dan banyak hal yang bakal nggak bisa kita lakuin."


12 Mei 2007

06.30
Aduuuhhh!!!! Tau nggak? Kemarin aku hampir aja nyasar. Aku tak tau kalau bis yang kutumpangi tak lagi lewat trayek yang seperti dulu. Untungnya aku memutuskan untuk turun di terminal dan naik angkot. Bayangkan! dari pintu tol Cilegon Barat ke Mesjid Agung (setara dengan dari SMA3 ke BIP) ongkosnya 2 ribu. MAHAL BANGET!!! Tapi... waktu jaman 500 masih laku di Bandung, emang sih ongkos disana udah 1200 untuk jalur yang sama. Udah githu warna angkot jadi banyak. Dulu sih cuma biru muda doank. Sekarang udah ada silver, ungu, merah... dll. Dan... Ramayana masih berdiri dengan angkuhnya. Tapi... asa kumuh. Entah memang begitu, atau hanya perasaanku yang sudah terbius oleh megahnya Bandung.

15.30
Seharian sudah aku menapaki sebagian masa laluku. Ke SMP dan ketemu ma Pak Ismahir, Bu Indah dan Bu Iif. Senangnya masih diingat. Aku jadi ingat betapa aku dekat dengan mereka. 4 tahun belakangan aku merasa guru begitu eksklusif. Jadi pengen sekolah di sini lagi. Sebelnya, tidak seorang pun temanku yang berniat untuk kuliah di Bandung. JAHAT!!!
Aku pun sempat makan dengan temanku. Serang-Cilegon memang lebih 'kumuh' dari yang dulu. Sibuk kampanye kali yee. Dari wawancaraku (ceile...), aku tahu kalau tidak ada perkembangan islam yang signifikan di sini. Bahkan dibandingkan dengan islam di Bandung jaman ibuku kuliah sekalipun. Dapat dimaklumi. Kalau bisa kuliah di luar kota bwat apa masih disini. Begitulah pasti yang dipikirkan pemuda-pemuda terbaiknya. Wajar.
Ohya, tadi aku melihat satu adegan memalukan. Orang ciuman diangkot. Perempuannya pake kerudung lagi. O tidak!! Di Bandung yang dikenal bebas aja nggak githu-githu amat deh. Malu aku ngeliatnya!!


26 Mei 2007

Aku ingin sekali kembali ke sana dan melakukan sesuatu.
Bagaimanapun, ini sudah menjadi bagian dari hidupku. Ada yang berniat menemani??? (maksudnya, akhwat)

Rabu, 16 Mei 2007

Andin dan Rasita

Bruk! Kubanting pintu kamarku. Andin yang sedang tertidur di tempat tidurku pun jadi terbangun.
"Nila, kau sudah pulang? Ada masalah ya?"
"Nggak da apa-apa kok. Cuman ulangan fisikaku aja kok jelek."
"O..." lanjutnya tanpa bertanya.
"Bohong! Kamu sudah terbiasa dengan nilai-nilai fisikamu yang jeblok."
Ini suara Rasita. Kejam. Namun, yang dikatakannya benar. Masalahku bukanlah ulangan fisikaku yang jelek.
"Siapa yang bohong?" aku berusaha mengelak.
"Rohis khan?"
Sepintar itukah Rasita menebak perasaanku? Atau aku yang tak pandai berbohong? Atau Andin yang terlalu mudah dibohongi?
Ku ceritakan semuanya.
"Apa yang perlu dibingungkan? Tinggal kembalikan semuanya ke Al-qur'an dan Al-Hadist."
"Din, mereka semua pasti berbicara tentang keduanya. Tuhan mereka sama, nabi mereka sama, tujuannya pun sebenarnya sama. Hanya perbedaan cara. Aku pun tak mengerti mengapa mereka meributkan hal-hal kecil macam itu. Coba lihat kaum nasrani. Mereka tetap bersatu walaupun Tuhan mereka berbeda. Tuhannya beda, Din!"
"Tapi Ras, kita nggak bisa jalan sendiri. Amal jama'i itu penting."
"Din, ketika kita masuk ke sebuah jamaah. Kamu akan melihat lain pada yang lain dan akan dilihat lain oleh yang lain. Sakit Din, rasanya!"
"Adakah sesuatu yang benar-benar bersifat netral di dunia ini? Air pun bersifat basa."
Ah! Begitulah kerjaan mereka setiap hari. Bertengkar.
Tapi, kali ini kumenangkan Rasita.

Lain kesempatan...
Bruk! kembali kubanting pintu kamarku. Andin dan Rasita langsung menyambutku.
"Ada apa Nil?" tanya Rasita
"Aku kesel."
"Pasti ada hubungannya dengan Rohis?" Rasita... Rasita...
"Nggak kok. Eh, ada sih."
"Maksudnya?" Andin bingung.
"Sebenernya bukan soal Rohis, tapi masalah anggotanya."
"Kenapa?" Andin kembali bertanya.
Kuceritakan semuaya.
"Loh, khan kamu bilang sendiri. Kalo mereka dah sobatan sejak kecil. Wajar donk, mereka sering berduaan." Rasita memberikan komentar.
"Sahabat antara laki-laki dan perempuan tanpa rasa sama dengan bohong. Kamu berkali-kali diceritain ama orang-orang yang pernah ngalaminnya khan?" Kini Andin merobek habis argumen Rasita.
"Tapi Din, kalau kamu mengalaminya mungkin kamu akan melakukan hal yang lebih parah dari mereka."
"Ras, Allah itu sudah mengukur kemampuan hambaNya. Dia sudah memberikan bekal yang lebih dari cukup untuk kita menghadapi dunia yang kotor ini."
Kali ini aku memihak Andin.

Bayangkan bila Andin dan Rasita ada dalam dirimu sendiri. Andin yang selalu berkata benar namun tak pernah peduli perasaanku. Rasita yang memiliki analisis dan nalar yang kuat serta sangat memahami apa yang kurasa.
Walau mereka membuatmu pusing. Kau tak akan pernah bisa mengusir salah satu atau keduanya. Kalau kau mengusir Andin, kau tak kan hiraukan kebenaran yang datang padamu. Kalau kau mengusir Rasita, kau akan menerima apa yang dikatakan oleh Andin hanya sebatas doktrin. Kau harus mensyukuri kebingungan-kebingungan yang mereka buat dalam dirimu. Karena itu akan membawamu lebih dewasa.

Rabu, 02 Mei 2007

Hidup Itu Indah!!

Ujian praktek terakhir kelas yE adalah praktek agama. Ada satu kejadian menarik di sini. Tau nggak sih cara ngetes hafalannya? 2 Orang di tes barengan. huhuhu... kebayanglah rasanya gimana. Ngerasa nggak diperhatiin, konsentrasi terbelah. yE sampe 2 kali ngulang karena nggak terpengaruh temen yE yang juga lagi di tes. Salut deh ama ibu yang ngetesnya!

Kejadian ini seperti menarik yE kembali ke yE 9 tahun lalu. Ketika itu yE tinggal di Jalan Raya Pandeglang 170. Sebelumnya, ada cerita menarik tentang ruma bercat ijo itu. Tau harga sewa 1 tahunnya berapa? 2 juta bo! Secara, luas bangunannya tuh 400 m2 an lah. Kossan bapak yE waktu itu aja 400 ribu per bulan, di Jakarta sieh. Selidik punya selidik, setelah kami tinggal 3 tahun di sana, ternyata di rumah itu pernah ada orang bunuh diri. Katanya lagi nggak ada yang tinggal di rumah itu lebih dari 1 bulan. yE dan keluarga? 5 tahun! Ya... bukan itu yang mau kubahas.

Biasanya, sehabis magrib yE dkk pergi mengaji di rumah guru ngaji. Cara ngajinya? Ya... begitulah. 3-5 orang mengaji bersama. Dipikir-pikir, hebat juga konsentrasi yE yang dulu.

Huhuhu... sedih!!! Kenangan masa lalu seperti berlarian di mataku. Rindu... rindu.... rindu saat-saat itu. Saat nongkrong di duduk di pinggiran jembatan diatas sungai yang tak bisa dibilang bersih, saat berlari berlomba siapa yang lebih dulu sampai. Rindu... rindu sekali...

Begitulah masa kecilku. Tidak dihabiskan oleh les ini dan itu... ya.. hal semacam itulah. Bahkan yE pernah mengalami pergi ke sekolah dengan tas keresek dan sendal jepit. Tapi yE puas dengan semua itu.

Apapun yang telah dan akan terjadi dalam hidupku. Aku bersyukur menjadi diriku sendiri dengan usahaku sendiri.