Selasa, 23 Desember 2008

Namaku Keisya.
Ananti Keisya Fardani yang biasa di panggil Key. Mahasiswa tingkat dua Faculty of Public Health sebuah universitas -yang katanya- terbaik di seluruh Sabang sampai Merauke. Selama ini ku biarkan banyak orang berkisah tentangku. Kini izinkan aku yang berkisah. Tentang keluarga seorang karibku saat ini. Nila.
Mengapa sosoknya begitu menarik bagiku. Karena melihatnya seperti berkaca pada diriku sendiri. Tak cantik namun menarik. Kadang bicaranya tak kami mengerti, seringkali alur pikirnya buat kami kerutkan kening. Hal ini membuat seorang Reza berpikir berulang kali. Bertanya pada diriku, apa yang sebenarnya menarik darinya sehingga dia –Reza- tak bisa layarkan perahunya ke pulau kapuk semalam suntuk. Ya, dia hampir tergila-gila pada sobatku ini.
Reza. Dia ketua angkatanku. Kini jadi calon kuat ketua BEM. Aku sendiri adalah bendahara. Tak aneh bukan, bila kami punya hubungan cukup dekat. Nila sendiri adalah ketua divisi keakademikan perangkat angkatan kami. Diantara semua ketua divisi, hanya di depan Nila lah dia tak bergeming. Jadilah kabar ini diketahui seluruh angkatan kami.
Nila, lagi-lagi tak bergeming dengan kabar ini. Buatnya semua ini tak penting. Baginya hanya dirinya yang penting, dirinya yang hebat. Tak hanya itu namun juga hanya dirinya yang salah, dirinya yang bodoh. Korelis-Melankolis. Sisi melakolisnya lah yang –tentu saja hanya menurut feeling liarku- membuat ketua angkatan kami itu tergila-gila.
Reza, adalah sosok menyenangkan, populer namun tegas dan berwibawa. Seperti kebanyakan pemimpin dunia. Dia tetap punya sisi lemah. Seperti semua lelaki di jagat raya ini, titik terlemahnya adalah wanita, karibku itu.
Fadnila Farida, anak pertama dari 4 bersaudara. Cukup sudah aku ceritakan wataknya seperti diatas. Hal lain yang menarik darinya adalah keluarganya.
Ayahnya, Hariyanto Abdilla. Beliau adalah dosen fakultas teknik di universitasku. Baru saja dipilih oleh BEM Fakultas Teknik sebagai dosen terfavorite. Apa pasal? Menurut anak-anak teknik, dosen Kalkulus yang satu ini tak hanya mengajar mata kuliah tapi juga mengajarkan tentang hidup. Mirip-mirip dosen filsafat. Namun, caranya tak membosankan. Dengan ayah macam itu, pantas saja pribadi Nila jadi sebegitu puitis, romantis dan melankolis.
Ibunya, Rossa Ardiana Rossandini. Nama yang sunda sekali. Beliau dalah salah satu kepala staff di Departemen Kesehatan. PNS papan atas. Tentu saja seorang dokter. Sangat menyenangkan serta humoris. Tak jarang beliau jadi pengisi acara yang kami buat. Tentu saja gratis. Hehehe.
Adik pertamanya, Hanina Asmarani.Biasa kami panggil Nina. Hanya pendapat orang luar. Dia sangat mirip dengan ibunya. Dari wajah, sampai perilaku. Bila ada kata-kata, like mother like daughter, ini sangat cocok untuk poasangan ibu-anak ini.Kini dia kelas 2 SMA. Masa lagi nakal-nakal. Tak jarang aku dengarkan keluhan Nila tentang adiknya ini.Sering pergi pagi buta dan pulang larut malam. Aku hanya berani berpendapat,
“Namanya juga anak SMA, kelas 2 lagi. Bukannya itulah masa paling indah ya Nil?”
Adik ke duanya, Ranisya Kania. Kami memanggilnya Nisa. Baru kelas 5 SD. Cenderung mendominasi. Namun, begitu lembut dan rapuh. Tempramen luar biasa. Pemikir. Hanya ingin melakukan hal-hal yang realistis dan masuk akal. Cenderung pesimis dan terobsesi dengan pikirannya sendiri. Sedikit banyak sama dengan Nila.
Adik ke tiganya, Fenida Aryadewi. Dipanggil Nida. Kelas 2 SD. Cenderung beda sendiri dari kakak-kakaknya. Berparas sangat cantik dibanding kakak-kakaknya. Anaknya ramah, super lembut, santun serta menyenangkan. Sangat suka melukis, berkebalikan dengan Nila yang sangat benci menggambar.
Sebuah keluarga yang cukup unik. Tak beda dengan keluargaku. Beginilah aku yang sekarang, sedikit narsis.
Bagaimana dengan keluargaku sendiri?
Setahun yang lalu aku ikut SPMB. Pilihan 1 : STEI ITB, Pilihan 2 : FKM UI, Pilihan 3 : Antropologi Sosial UnPad. Mimpiku sejak SMP memang masuk ke Teknik Informatika ITB. Tapi apa mau di kata, kenyataannya aku harus hijrah ke Depok karena nilaiku hanya mampu mengantarku ke pilihanku yang kedua. Aku pun tinggal bersama abang tertuaku, Bang Radit. Hanya saja pertengahan tahun ini dia pindah kantor sehingga harus pula pindah rumah ke daerah Jakarta Pusat. Sebuah kebetulan, abangku yang kedua, Bang Dimas yang tadinya nun jauh di Kalimantan sana, mendapat beasiswa di kampus yang sama denganku. Jurusan Manajemen. Sedangkan istrinya,Teh Reni, dapat beasiswa di fakultas yang sama denganku. Jadilah kini aku tinggal bersama mereka dan 2 putra-putri mereka Sheira dan Erief.
Sheira. Baru 3 tahun. Sedang lucu-lucunya. Mengoceh apapun yang bisa diocehkannya. Super duper cerewet. Sampai pusing bukan buatan aku dibuatnya.
Erief. Terpaut 20 bulan dengan Sheira. Sedang belajar melangkah dan aku banyak belajar darinya. Tentu saja perhatian Teh Reni lebih banyak tertuju padanya. Dan ini membuat Sheira cemburu. Jadilah Sheira lebih dekat denganku. Karena akulah yang bertugas menghibur Sheira ketika ia menangis.
***
Hari ini adalah hari yang indah.
Sheira dan Erief berada dimasa-masa akur mereka. Seperti kehidupan kakak-adik pada umumnya. Ada masa bertengkar, ada masa akur. Masa-masa yang tak pernah aku alami karena umurku yang terpaut begitu jauh dengan 2 kakak lelakiku.
“Apa kesibukan kamu selama ini, Key?”
“Ya... palingan juga di BEM Fakultas.”
“Masih inget sama Fajar?”
“Fajar mana?”
Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba saja Teh Reni bertanya seperti itu. Aku memang punya setidaknya 10 orang teman bernama Fajar. 5 orang sewaktu SD, 3 orang sewaktu SMP, dan 2 SMA.
“Fajar yang paling berkesan buat kamu yang mana?”
Sejujurnya salah satu Fajar waktu SMAlah yang paling berkesan buatku. Terlalu banyak kasus masa SMAku yang sehubung dengannya. Tentu bukan hal yang mudah jika mau melupakannya. Namun, bukan aku jika tak menjawabnya dengan diplomatis.
“Semua Fajar meninggalkan kesan yang berbeda-beda.”
“Begitu juga dengan Fajar, yang membuatmu sampai menelpon abangmu?”
Ya, memang Fajar itu yang paling berkesan buatku.
“Emang Bang Dimas cerita-cerita ke Teh Reni ya?” tanyaku, coba alihkan fokus.
Teh Reni hanya tersenyum. Seakan mengerti maksudku uraikan fokus pembicaraan.
“Key, teteh minta tolong. Kamu ajak Sheira mandi jug.” katanya pada akhirnya.
***
SMA memang cerita yang lucu.
Masa terindah, masa ternakal, masa terpenuh mimpi, masa tertakrealistis, ..., kelihatannya terlalu banyak ter lain yang tak bisa aku ungkap saat ini.
Lucu?
Tentu saja aku bisa tertawa terbahak-bahak bila Bang Dimas kembali mengurai cerita Rena dan Lani yang sempat tergila-gila padanya.
Indah?
Tak sebanding hukuman-hukuman yang kami dapat saat kabur dari pelajaran PPKn dengan keasyikan bersembunyi saat itu.
Nakal?
Merasa kabur itu indah dan asyik tentunya karena jiwa kenakalan sedang ada pada titik tertinggi. Sering pulang malam dan pergi pagi buta. Ya, itulah masa SMA.
Penuh mimpi dan tak realistis?
Oh, tentu. Karena kami sedang ada pada jiwa muda tertinggi. Maka muncullah mimpi-mimpi yang tak realistis.
Itulah SMA, itulah masa muda.
***
Ngomong-ngomong soal Fajar, aku tiba-tiba saja teringat soal Rama.
Bisa jadi dia adalah cinta pertamaku. Tak tampan, hanya hitam manis serta jenius luar biasa. Sayangnya kami terpisah saat SMA dan tak tau lagi bagaimana kabarnya sampai saat ini.
Aku cerita pada Bang Dimas soal ini, mulai saat itulah Bang Dimas banyak berbicara padaku soal jilbab serta pacaran yang diperbolehkan agama. Maka dari itu, ketika Rama ‘nembak’ –ya... begitulah bahasa anak mudanya- aku, aku sudah siap dengan perisai yang tlah lama dipersiapkan Bang Dimas.
“Teu, nyalain tipi donk.” Sahut Sheira dengan lucunya.
Teuteu. Begitulah 3 keponakanku Sheira, Nadia dan Erief memanggilku.
Aku pun menuruti katanya. Kali ini rumah sepi. Bang Dimas dan Teh Reni sedang pergi ke dokter mengantar Erief yang badannya panas sejak 3 hari yang lalu. Tadi pagi Teh Reni menelpon ibuku, mertuanya. Begini kata ibuku,
“Biasa Ren, Begitulah anak kecil. Pabila akan bisa sesuatu pasti sakit terlebih dahulu. Jadi, kau jangan terlalu cemas, tapi jangan pula terlalu menganggap remeh. Boleh ibu bicara dengan Keisya?”
Dan bicaralah ibuku pada diriku,
“Baik-baik kau bersama abangmu di sana. Jangan membuat kepala kakak-kakakmu bertambah pusing. Kalau ada apa-apa cerita pada ibu.”
“Iya, Bu.”
Hanya itu jawabku.
“Ya sudah. Ibu mau bicara dengan kakak iparmu lagi.”
Sepertinya ibuku tau. Aku tak akan menjalankan pesannya itu. Dia hanya pasrah.
Ups! Aku sampai lupa.
Kunyalakan langsung tv, sebagaimana keinginan Sheira, keponakan kesayanganku.
Apa?
Guys.... ada yang tau apa yang kulihat?
Sebuah berita, tentang unjuk rasa sebuah universitas kota kelahiranku. Yang akan menaikan biaya kuliahnya 50%. Apa-apaan ini? Semakin komersial saja dunia pendidikan kita? Tak adakah fakta sebuah buku best seller yang mengangkat cerita itu memanggil para pemimpin negeri ini? Sepertinya hanya sekelewat saja Laskar Pelangi dibaca, tanpa diresapi isinya secara benar oleh presiden kita itu. Hanya pendapat pikiran liarku. Sebenarnya aku tak tau apa-apa.
Bukan itu yang sebenarnya aku ingin ungkap disini. Tau siapa yang kulihat?
Tampak 2 sosok yang tampaknya ku kenal. Yang satu teman SMPku satunya lagi teman SMAku, Rama dan Fajar. Mereka berdua memimpin aksi itu, memegang pengeras suara, memimpin aksi yang cukup besar itu.
“Teuteu pindahin kaltun Teu, kaltun” Sheira memelas.
Aku pun tak ingin lama-lama melihat ini. Aku takut, hal yang menggerogoti imanku 3 dan 6 tahun lalu kembali gerogoti imanku lagi kali ini.
***
Benar saja.
Benteng yang telah kubangun dua tahun belakangan ini rubuh begitu saja. Aku sangat penasaran dengan kabar 2 temanku ini.
Mereka hanya temanku. Wajar bukan, jika aku ingin tau kabar keduanya. Aku melempar telepon genggam yang sedari tadi ku tatap. Hendak menelpon Rena yang juga masuk jurusan yang sama dengan 2 orang yang tadi memimpin aksi yang lumayan besar itu.
“Mo nelpon siapa sih? Kok kamu bimbang githu.” Ini Abangku.
“Tadi sore... Key ngeliat Rama dan Fajar di tv mimpin aksi.”
“Oh, mereka satu universitas ya? Dimana?”
“Satu jurusan malah. Kedokteran.” jawabku singkat.
“Teh Reni punya nomornya Teh Lili tuh.”
Teh Lili adalah kakak dari Fajar. Ide ini begitu bodohnya. Seperti menertawakanku. Tak kuhiraukan.
Telpon Rena, tanya kabarnya, dan tanyakan soal aksi itu. Kalau kau tak dapat kabar apa-apa tentang mereka berdua. Hal itu memang belum rejekimu.
“Ren, apa kabar?”
“Baik. Benarkah ini kau Key?”
“Serius Key? Apa kabar juga?”
Kami pun bercerita tentang diri kami masing-masing. Sampailah saatnya,
“Tadi kalian aksi ya. Aku nontonloh di tv.” kataku.
“Pasti kau ingin tau soal 2 pria yang tadi mimpin aksi khan?”
Kalau Rena tau soal Fajar, itu wajar. Soal Rama bagaimana dia tau?
“Maksudnya?”
“Mereka berdua tuh sering banget ngebicarain kamu tau.”
“Terus?”
“Ya, paling yang ngerti anak SMA kita yang tau kalian aja. Dan itu nggak banyak khan. Pokoknya mereka berdua tuh sering bawa-bawa kamu deh kalau lagi diskusi n debat. Yang paling ngerti paling aku doank.”
Aku tersentak. Dalam. Kedua muncul bersamaan. Sejujurnya bentengku akan Rama tak rubuh begitu banyak. Karena pondasinya telah mengakar kuat. Ya, Fajar lah yang membuat hatiku ini gundah.
Ku telpon ibuku, menangis sekeinginku.
“Bu, maafin Key selama ini ya.”
“Kenapa sih Key? Kok tiba-tiba nangis ke ibu begini.”
“Maafin Key, karena selama ini Key kurang suka cerita sama ibu. Key lebih suka cerita ama Bang Dimas. Maafin Key ya bu.”
Ibuku menghela nafas. Lalu berkata,
“Sebenernya... kamu cerita sama ibu atau sama abangmu itu sama saja Key. Yang penting kau ceritakan masalahmu pada orang lain. Jangan kau pendam sendiri. Ibu ini sudah jadi bundamu 19 tahun lamanya. Ibu mengenalmu dengan sangat. Satu yang ibu ingin kau tau, kami selalu ada di sampingmu, menemani apapun masalah yang kau hadapi.”
Ibu. Sesosok yang telah kulupa 6 tahun ini. Aku lebih banyak cerita dengan abangku, Dimas. Entah mengapa nasihatnya yang ini, buat aku terasa sangat dekat dengannya. Dan tiba-tiba saja, kata-kata ini terucap dari bibirku.
“Ibu, Key sayang ibu.”
“Ibu juga.”
Rasa rindu pada ibuku saat itu menjadi berkali-kali lipat rasanya.
***
Story-Guide :
Barulah untuk pertama kalinya. Keisya jujur pada perasaannya sendiri. Tentang ibunya dan tentang Fajar tentu saja.

Tidak ada komentar: