Rabu, 08 Oktober 2008

Laskar Pelangi, sebuah buku beribu inspirasi,,

Aku adalah orang yang gemar membaca. Selama bacaan itu bisa di baca, akan ku baca. Ku dapatkan rekomendasi akan sebuah buku berjudul Laskar Pelangi. Bahasanya nyastra pisan, dan saat itu jiwa melankolisku entah ada dimana. Jadi... aku tidak melanjutkan pembacaan buku itu. Sampai akhirnya buku itu jadi heboh banget. Aku jadi penasaran pengen baca juga. Masih boring baca bukunya. Apalagi aku merasa tak ada informasi baru yang aku dapatkan dari buku tersebut.

Hari ini aku menonton filmnya. Sejujurnya,aku lebih bisa menangkap maksud dari cerita-cerita yang ada dalam bukunya. Aku merasa semakin yakin, kalau aku juga mengalami pengalaman yang tak jauh berbeda dengan sang penulis. Kehidupan itu pernah juga ku alami. Kesenjangan sosial yang terjadi di wilayah industri dan pertambangan. Memang mengurangi angka pengangguran, namun merusak tatanan alam juga sosial yang ada. Yang terakhir adalah kerugian terbesarnya. Bagaimana tidak? Perusahaan-perusahaan industri dan pertambangan ini pasti butuh tenaga ahli yang hampir semua bukan putra daerah. Para tenaga ahli itu pasti membawa keluarga mereka tinggal disana. Fasilitas-fasilitas eksklusif yang mewah pun dibangun. Dan pastilah putra daerahnya yang tak jauh-jauh dari posisi karyawan rendahan hanya bisa menatap kagum fasilitas-fasilitas tersebut. Sungguh merusak tatanan sosialnya. Sebuah transaksi yang merugikan luar biasa.

Bisa dibilang posisiku adalah salah satu anak SD PN Timah. Tapi aku tinggal dan sehari-hari bermain dengan para laskas pelangi. Aku jadi turut miris dengan nasib teman-temanku dulu. Sekarang, hanya aku yang beruntung dapat melanjutkan sekolah hingga jenjang perguruan tinggi, sementara yang lain ku dengar kabarnya, hanya jadi kuli, petani dan yang paling top adalah lulus SMEA atau STM jadi kasir toko atau mandor bangunan. Padahal dulu aku banyak bertanya pelajaran pada mereka. Persis nasib Lintang. Terkadang hidup memang kejam. Ayahku pernah menyebutnya lingkaran setan. Orang pinter maka kaya. Orang ini akan menurunkan kepintarannya pada anaknya. Dan anak yang pintar dengan segala fasilitas yang ada akan berhasil dan akan kaya kembali. Dan seterusnya. Begitu juga sebaliknya. Hanya orang-orang hebat yang bisa keluar dari lingkaran setan ini.

Kembali menggelitik jiwa idealismeku. Menusuri ujung cita-citaku. Aku berpikir. Aku harus siap jadi Bu Muslimah dan Pak Harfan yang ke sekian. Hidup apa adanya. Aku tak tau kapan cita-cita ini bermula, yang jelas aku merasa hidupku tlah diset olehNya dengan sedemikian rupa untuk (saetidaknya hanya punya harapan) membangun daerah. Mengabdi pada masyarakat.